Deteksi adalah langkah pertama dalam pencegahan. Menghentikan penyebaran HIV satu tes sederhana pada suatu waktu. The OraQuick ADVANCE® Rapid HIV-1/2 Antibodi Test mendeteksi antibodi terhadap HIV-1 dan HIV-2 dalam 20 menit.
Daftar di PayPal, lalu mulai terima pembayaran menggunakan kartu kredit secara instan.

Mitos HIV-AIDS

Apakah gigitan nyamuk membawa risiko terinfeksi HIV?
HIV tidak menyebar melalui gigitan nyamuk atau gigitan serangga lainnya. Bahkan bila virus masuk ke dalam tubuh nyamuk atau serangga yang menggigit atau mengisap darah, virus tersebut tidak dapat mereproduksi dirinya dalam tubuh serangga. Karena serangga tidak dapat terinfeksi HIV, serangga tidak dapat menularkannya ke tubuh manusia yang digigitnya.
Apakah saya harus khawatir tertular HIV saat melakukan kegiatan olah raga?
Tidak terdapat bukti bahwa HIV dapat ditularkan ketika seseorang melakukan olah raga.
Bisakah saya terkena HIV dari bersentuhan secara biasa? (berjabat tangan, berpelukan, menggunakan toilet, minum dari gelas yang juga digunakan oleh seseorang yang terkena HIV, atau berada berdekatan dengan seseorang yang terinfeksi yang sedang bersin atau batuk)?
HIV tidak ditularkan oleh kontak sehari-hari dalam kegiatan sosial, di sekolah, ataupun di tempat kerja. Anda tidak dapat terinfeksi lantaran anda berjabat tangan, berpelukan, menggunakan toilet yang sama atau minum dari gelas yang sama dengan seseorang yang terinfeksi HIV, atau terpapar batuk atau bersin penyandang infeksi HIV.
Apakah HIV hanya menjangkiti kaum homoseksual dan pengguna narkoba saja?
Tidak. Setiap orang yang melakukan hubungan seks yang tak terlindungi, berbagi penggunaan alat suntikan, atau diberi transfusi dengan darah yang terkontaminasi dapat terinfeksi HIV. Bayi dapat terinfeksi HIV dari ibunya selama masa kehamilan, selama proses persalinan, atau setelah kelahiran melalui pemberian air susu ibu.
Sebanyak 90% kasus HIV merupakan akibat dari penularan seksual dan 60-70%kasus HIV terjadi di kalangan heteroseksual.
Apakah kita dapat mengetahui bahwa seseorang terkena HIV hanya dengan melihat dari penampilannya?
Kita tidak dapat mengetahui bahwa seseorang menyandang HIV atau AIDS hanya dengan melihat penampilan mereka. Seseorang yang terinfeksi HIV bisa saja nampak sehat dan merasa baik-baik saja, namun mereka tetap dapat menularkan virus itu ke anda. Tes darah merupakan satu-satunya cara untuk mengetahui apakah seseorang terinfeksi HIV atau tidak.
Bisakah saya terjangkit lebih dari satu infeksi menular seksual (IMS) pada saat yang bersamaan?
Ya. Anda dapat terkena lebih dari satu infeksi penyakit menular (IMS) pada saat yang bersamaan. Masing-masing infeksi memerlukan pengobatannya sendiri. Anda tidak dapat menjadi kebal terhadap IMS. Anda juga dapat terkena infeksi yang sama berkali-kali. Banyak pria dan wanita yang tidak merasa atau melihat gejala awal apapun ketika mereka pertama kali terinfeksi dengan IMS, kendatipun mereka masih bisa menulari pasangan seksualnya.
Ketika seseorang sedang menjalani terapi antiretroviral, dapatkan dia menularkan HIV kepada orang lain?
Terapi antiretroviral tidak dapat mencegah penularan virus ke orang lain. Terapi dapat membantu menurunkan jumlah virus ke tingkat yang tidak terdeteksi, namun HIV masih tetap ada dalam tubuh, dan dapat ditularkan ke orang lain melalui hubungan seksual, dengan bergantian memakai peralatan suntikan, atau melalui ibu yang menyusui bayinya.

Sumber: http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids/mitos

Pencegahan HIV-AIDS

Bagaimana infeksi HIV dapat dicegah?
Penularan HIV secara seksual dapat dicegah dengan:
  • berpantang seks
  • hubungan monogami antara pasangan yang tidak terinfeksi
  • seks non-penetratif
  • penggunaan kondom pria atau kondom wanita secara konsisten dan benar
Cara tambahan yang lain untuk menghindari infeksi:
  • Bila anda seorang pengguna narkoba suntikan, selalu gunakan jarum suntik atau semprit baru yang sekali pakai atau jarum yang secara tepat disterilkan sebelum digunakan kembali.
  • Pastikan bahwa darah dan produk darah telah melalui tes HIV dan standar standar keamanan darah dilaksanakan.
Apakah “seks aman” itu?
Tak ada seks yang 100% aman. Seks yang lebih aman menyangkut upaya-upaya kewaspadaan untuk menurunkan potensi penularan dan terkena infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV, saat melakukan hubungan seks. Menggunakan kondom secara tepat dan konsisten selama melakukan hubungan seks dianggap sebagai seks yang lebih aman.
Seberapa efektifkah kondom dalam mencegah HIV?
Kondom yang kualitasnya terjamin adalah satu-satunya produk yang saat ini tersedia untuk melindungi pemakai dari infeksi seksual karena HIV dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya. Ketika digunakan secara tepat, kondom terbukti menjadi alat yang efektif untuk mencegah infeksi HIV di kalangan perempuan dan laki-laki.
Walaupun begitu, tidak ada metode perlindungan yang 100% efektif, dan penggunaan kondom tidak dapat menjamin secara mutlak perlindungan terhadap segala infeksi menular seksual (IMS). Agar perlindungan kondom efektif, kondom tersebut harus digunakan secara benar dan konsisten. Penggunaan yang kurang tepat dapat mengakibatkan lepasnya atau bocornya kondom, sehingga menjadi tidak efektif.
Bagaimana cara memasang kondom pria?
  • Kondom berpelumas lebih sedikit kemungkinan untuk robek saat dikenakan atau digunakan. Pelumas berbasis minyak, seperti vaselin, hendaknya tidak digunakan karena dapat merusak kondom.
  • Hanya buka bungkusan berisi kondom saat akan digunakan, kalau tidak kondom akan mengering. Berhati-hatilah agar kondom tidak rusak atau sobek ketika anda membuka bungkusnya. Bila kondom ternyata sobek, buang kondom tersebut dan buka bungkusan yang baru.
  • Kondom dikemas tergulung dalam bentuk lingkaran gepeng. Pasanglah kondom yang tergulung itu di ujung penis. Peganglah ujung kondom di antara ibu jari dan jari telunjuk untuk menekan udara supaya keluar dari ujung kondom. Tindakan ini akan menyisakan ruang untuk tempat cairan semen setelah terjadinya ejakulasi. Tetap pegang ujung kondom dengan satu tangan. Dengan tangan yang satunya, gulunglah sepanjang penis yang berereksi ke arah rambut kemaluan. Jika pria pemakai tidak disunat, ia harus menarik kulup ke arah pangkal penis sebelum menggulung kondom.
  • Bila kondom tidak cukup berpelumas, pelumas berbasis air (seperti silikon, gliserin, atau K-Y jelly) dapat ditambahkan. Bahkan air ludah dapat berfungsi dengan baik sebagai pelumas. Pelumas yang terbuat dari minyak-minyak goreng atau lemak, minyak bayi atau minyak mineral, jeli berbasis bahan turunan minyak bumi seperti vaselin dan olesan lainnya – hendaknya jangan digunakan karena dapat merusak kondom.
  • Setelah berhubungan seks, kondom perlu segera dilepaskan secara benar.
  • Segera setelah si pria pemakai mengalami ejakulasi, ia harus menahan pada ujung dekat pangkal penis untuk memastikan agar kondom tidak terlepas.
  • Kemudian, si pria harus menarik keluar penisnya selagi masih dalam keadaan ereksi.
  • Ketika penis mengecil kembali, lepaskan kondom dan buanglah kondom pada tempat yang tepat. Jangan membuang kondom ke dalam toilet dan menyentornya dengan air.
  • Bila anda akan melakukan hubungan seks lagi, gunakan kondom baru, dan ulangi proses di atas dari awal.
Apakah kondom perempuan?
Kondom perempuan merupakan metode kontrasepsi pertama dan satu-satunya yang dikendalikan oleh perempuan. Kondom perempuan adalah sarung yang terbuat dari bahan polyuretan yang kuat, lembut, dan tembus pandang yang dimasukkan ke dalam vagina sebelum melakukan hubungan seks. Kondom tersebut sepenuhnya mengikuti bentuk vagina dan karenanya dengan penggunaan yang benar dan konsisten, ia akan memberikan perlindungan dari kemungkinan hamil sekaligus infeksi menular seksual (IMS). Kondom perempuan tidak memiliki risiko dan efek samping, dan tidak memerlukan resep atau intervensi dari staf perawatan kesehatan.
Bagaimana cara memasang kondom perempuan?
  • Ambil kondom dari dalam bungkus pelindungnya. Bila dipandang perlu, tambahkan pelumas ekstra pada cincin-cincin kondom bagian dalam dan luar.
  • Untuk memasukkan kondom, berjongkoklah, duduk dengan kedua lutut terbuka lebar, atau berdirilah dengan satu kaki bertumpu di atas bangku kecil atau kursi rendah. Pegang kondom dengan bagian ujung yang terbuka menghadap ke arah bawah. Sambil memegang cincin atas “kantung” (ujung kondom yang tertutup), pencet cincin diantara ibu jari dan jari tengah.
  • Kemudian letakkan jari telunjuk di antara ibu jari dan jari tengah. Dengan jari-jari dalam posisi tersebut, jagalah agar bagian ujung kondom tetap terjepit dalam bentuk lonjong pipih. Gunakan tangan yang satunya untuk membuka bibir vagina dan masukkan ujung “kantung” yang tertutup.
  • Setelah ujungnya masuk, gunakan jari telunjuk anda untuk mendorong “kantung” sampai ke ujung vagina. Pastikan bahwa ujung kondom telah terletak melewati tulang kemaluan anda dengan menekukkan jari telunjuk ke arah atas setelah jari berada beberapa inci di dalam vagina. Anda dapat mengenakan kondom perempuan maksimal delapan jam sebelum melakukan hubungan seksual.
  • Pastikan bahwa kondom tersebut tidak terpelintir dalam vagina anda. Jika demikian, keluarkan, berikan satu atau dua tetes cairan pelumas dan masukkan kembali. Catatan: Kira-kira satu inci dari ujung kondom yang terbuka akan berada di luar tubuh anda. Jika pasangan anda memasukkan penisnya di bawah atau di sebelah kantung, mintalah ia untuk menarik keluar kembali. Copot kondomnya, buang dan gunakan yang baru. Sampai anda dan pasangan anda terbiasa dengan kondom perempuan, akan sangat berguna jika anda menggunakan tangan anda untuk membantu memasukkan penisnya ke vagina.
  • Setelah pasangan anda berejakulasi dan menarik keluar penisnya, pencet dan putar ujung kondom yang terbuka agar sperma tidak tumpah. Keluarkan perlahan-lahan. Buanglah kondom bekas tersebut (namun jangan membuangnya ke lubang toilet).
  • Tidak disarankan untuk menggunakan ulang kondom perempuan.
Bagaimana pengguna narkoba suntik (IDU) dapat mengurangi risiko tertular HIV?
Bagi pengguna narkoba, langkah-langkah tertentu dapat diambil untuk mengurangi risiko kesehatan masyarakat maupun kesehatan pribadi, yaitu:
  • Beralih dari napza yang harus disuntikkan ke yang dapat diminum secara oral.
  • Jangan pernah menggunakan atau secara bergantian menggunakan semprit, air, atau alat untuk menyiapkan napza.
  • Gunakan semprit baru (yang diperoleh dari sumber-sumber yang dipercaya, misalnya apotek, atau melalui program pertukaran jarum suntikan) untuk mempersiapkan dan menyuntikkan narkoba.
  • Ketika mempersiapkan napza, gunakan air yang steril atau air bersih dari sumber yang dapat diandalkan.
  • Dengan menggunakan kapas pembersih beralkohol, bersihkan tempat yang akan disuntik sebelum penyuntikan dilakukan.
Bagaimana penularan dari ibu ke anak dapat dicegah?
Penularan HIV dari seorang ibu yang terinfeksi dapat terjadi selama masa kehamilan, selama proses persalinan atau setelah kelahiran melalui ASI. Tanpa adanya intervensi apapun, sekitar 15% sampai 30% ibu dengan infeksi HIV akan menularkan infeksi selama masa kehamilan dan proses persalinan. Pemberian air susu ibu meningkatkan risiko penularan sekitar 10-15%. Risiko ini tergantung pada faktor- faktor klinis dan bisa saja bervariasi tergantung dari pola dan lamanya masa menyusui.
Penularan dari Ibu ke Anak dapat dikurangi dengan cara berikut:
  • Pengobatan: Jelas bahwa pengobatan preventatif antiretroviral jangka pendek merupakan metode yang efektif dan layak untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Ketika dikombinasikan dengan dukungan dan konseling makanan bayi, dan penggunaan metode pemberian makanan yang lebih aman, pengobatan ini dapat mengurangi risiko infeksi anak hingga setengahnya. Regimen ARV khususnya didasarkan pada nevirapine atau zidovudine. Nevirapine diberikan dalam satu dosis kepada ibu saat proses persalinan, dan dalam satu dosis kepada anak dalam waktu 72 jam setelah kelahiran. Zidovudine diketahui dapat menurunkan risiko penularan ketika diberikan kepada ibu dalam enam bulan terakhir masa kehamilan, dan melalui infus selama proses persalinan, dan kepada sang bayi selama enam minggu setelah kelahiran. Bahkan bila zidovudine diberikan di saat akhir kehamilan, atau sekitar saat masa persalinan, risiko penularan dapat dikurangi menjadi separuhnya. Secara umum, efektivitas regimen obat-obatan akan sirna bila bayi terus terpapar pada HIV melalui pemberian air susu ibu. Obat-obatan antiretroviral hendaknya hanya dipakai di bawah pengawasan medis.
  • Operasi Caesar: Operasi caesar merupakan prosedur pembedahan di mana bayi dilahirkan melalui sayatan pada dinding perut dan uterus ibunya. Dari jumlah bayi yang terinfeksi melalui penularan ibu ke anak, diyakini bahwa sekitar dua pertiga terinfeksi selama masa kehamilan dan sekitar saat persalinan. Proses persalinan melalui vagina dianggap lebih meningkatkan risiko penularan dari ibu ke anak, sementara operasi caesar telah menunjukkan kemungkinan terjadinya penurunan risiko. Kendatipun demikian, perlu dipertimbangkan juga faktor risiko yang dihadapi sang ibu.
  • Menghindari pemberian ASI: Risiko penularan dari ibu ke anak meningkat tatkala anak disusui. Walaupun ASI dianggap sebagai nutrisi yang terbaik bagi anak, bagi ibu penyandang HIV-positif, sangat dianjurkan untuk mengganti ASI dengan susu formula guna mengurangi risiko penularan terhadap anak. Namun demikian, ini hanya dianjurkan bila susu formula tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi anak, bila formula bayi itu dapat dibuat dalam kondisi yang higienis, dan bila biaya formula bayi itu terjangkau oleh keluarga.
Badan Kesehatan Dunia, WHO, membuat rekomendasi berikut:
Ketika makanan pengganti dapat diterima, layak, harganya terjangkau, berkesinambungan, dan aman, sangat dianjurkan bagi ibu yang terinfeksi HIV-positif untuk tidak menyusui bayinya. Bila sebaliknya, maka pemberian ASI eksklusif direkomendasikan pada bulan pertama kehidupan bayi dan hendaknya diputus sesegera mungkin.
Prosedur apakah yang harus ditempuh oleh seorang petugas kesehatan untuk mencegah penularan dalam setting perawatan kesehatan?
Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Kewaspadaan Universal (Universal Precaution). Kewaspadaan Universal adalah panduan mengenai pengendalian infeksi yang dikembangkan untuk melindungi para pekerja di bidang kesehatan dan para pasiennya sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit yang disebarkan melalui darah dan cairan tubuh tertentu.
Kewaspadaan Universal meliputi:
  • Cara penanganan dan pembuangan barang-barang tajam (yakni barang-barang yang dapat menimbulkan sayatan atau luka tusukan, termasuk jarum, jarum hipodermik, pisau bedah dan benda tajam lainnya, pisau, perangkat infus, gergaji, remukan/pecahan kaca, dan paku);
  • Mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah dilakukannya semua prosedur;
  • Menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, celemek, jubah, masker dan kacamata pelindung (goggles) saat harus bersentuhan langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya;
  • Melakukan desinfeksi instrumen kerja dan peralatan yang terkontaminasi;
  • Penanganan seprei kotor/bernoda secara tepat.
Selain itu, semua pekerja kesehatan harapnya berhati-hati dan waspada untuk mencegah terjadinya luka yang disebabkan oleh jarum, pisau bedah, dan instrumen atau peralatan yang tajam. Sesuai dengan Kewaspadaan Universal, darah dan cairan tubuh lain dari semua orang harus dianggap telah terinfeksi dengan HIV, tanpa memandang apakah status orang tersebut baru diduga atau sudah diketahui status HIV-nya.
Apa yang harus dilakukan bila anda menduga bahwa anda telah terekspos HIV?
Bila anda menduga bahwa anda telah terpapar HIV, anda hendaknya mendapatkan konseling dan melakukan testing/pemeriksaan HIV. Kewaspadaan hendaknya diambil guna mencegah penyebaran HIV kepada orang lain, seandainya anda benar terinfeksi HIV.

Sumber: http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids/pencegahan

Perawatan

Adakah obat untuk HIV?
Tidak. Tidak ada obat yang dapat sepenuhnya menyembuhkan HIV/AIDS. Perkembangan penyakit dapat diperlambat namun tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi yang tepat antara berbagai obat-obatan antiretroviral dapat memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda awal terjadinya AIDS.
Jenis pengobatan dan perawatan apakah yang tersedia?
Pengobatan dan perawatan yang ada terdiri dari sejumlah unsur yang berbeda, yang meliputi konseling dan tes mandiri (VCT), dukungan bagi pencegahan penularan HIV, konseling tindak lanjut, saran-saran mengenai makanan dan gizi, pengobatan IMS, pengelolaan efek nutrisi, pencegahan dan perawatan infeksi oportunistik (IOS), dan pemberian obat-obatan antiretroviral.
Apakah obat anti retroviral itu?
Obat antiretroviral digunakan dalam pengobatan infeksi HIV. Obat-obatan ini bekerja melawan infeksi itu sendiri dengan cara memperlambat reproduksi HIV dalam tubuh.
Bagaimana cara kerja obat antiretroviral?
Dalam suatu sel yang terinfeksi, HIV mereplikasi diri, yang kemudian dapat menginfeksi sel-sel lain dalam tubuh yang masih sehat. Semakin banyak sel yang diinfeksi HIV, semakin besar dampak yang ditimbulkannya terhadap kekebalan tubuh (immunodeficiency). Obat-obatan antiretroviral memperlambat replikasi sel-sel, yang berarti memperlambat penyebaran virus dalam tubuh, dengan mengganggu proses replikasi dengan berbagai cara.
  • Penghambat Nucleoside Reverse Transcriptase (NRTI)
HIV memerlukan enzim yang disebut reverse transcriptase untuk mereplikasi diri. Jenis obat-obatan ini memperlambat kerja reverse transcriptase dengan cara mencegah proses pengembangbiakkan materi genetik virus tersebut.
  • Penghambat Non-Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)
Jenis obat-obatan ini juga mengacaukan replikasi HIV dengan mengikat enzim reverse transcriptase itu sendiri. Hal ini mencegah agar enzim ini tidak bekerja dan menghentikan produksi partikel virus baru dalam sel-sel yang terinfeksi.
  • Penghambat Protease (PI)
Protease merupakan enzim pencernaan yang diperlukan dalam replikasi HIV untuk membentuk partikel-partikel virus baru. Protease memecah belah protein dan enzim dalam sel-sel yang terinfeksi, yang kemudian dapat menginfeksi sel yang lain. Penghambat protease mencegah pemecah-belahan protein dan karenanya memperlambat produksi partikel virus baru.
Obat-obatan lain yang dapat menghambat siklus virus pada tahapan yang lain (seperti masuknya virus dan fusi dengan sel yang belum terinfeksi) saat ini sedang diujikan dalam percobaan-percobaan klinis.
Apakah obat antiretroviral efektif?
Penggunaan ARV dalam kombinasi tiga atau lebih obat-obatan menunjukkan dapat menurunkan jumlah kematian dan penyakit yang terkait dengan AIDS secara dramatis. Walau bukan solusi penyembuhan, kombinasi terapi ARV dapat memperpanjang hidup orang penyandang HIV-positif, membuat mereka lebih sehat, dan hidup lebih produktif dengan mengurangi varaemia (jumlah HIV dalam darah) dan meningkatkan jumlah sel-sel CD4+ (sel-sel darah putih yang penting bagi sistem kekebalan tubuh).
Supaya pengobatan antiretroviral dapat efektif untuk waktu yang lama, jenis obat-obatan antiretroviral yang berbeda perlu dikombinasikan. Inilah yang disebut sebagai terapi kombinasi. Istilah ‘Highly Active Anti-Retroviral Therapy’ (HAART) digunakan untuk menyebut kombinasi dari tiga atau lebih obat anti HIV.
Bila hanya satu obat digunakan sendirian, diketahui bahwa dalam beberapa waktu, perubahan dalam virus menjadikannya mampu mengembangkan resistensi terhadap obat tersebut. Obat tersebut akhirnya menjadi tidak efektif lagi dan virus mulai bereproduksi kembali dalam jumlah yang sama seperti sebelum dilakukan pengobatan. Bila dua atau lebih obat-obatan digunakan bersamaan, tingkat perkembangan resistensi dapat dikurangi secara substansial. Biasanya, kombinasi tersebut terdiri atas dua obat yang bekerja menghambat reverse transcriptase enzyme dan satu obat penghambat protease. Obat-obatan anti retroviral hendaknya hanya diminum di bawah pengawasan medis.
Mengapa ARV tidak siap tersedia?
Di negara-negara berkembang, hanya sekitar 5% dari mereka yang membutuhkan dapat memperoleh pengobatan antiretroviral, sementara di negera-negara berpendapatan tinggi akses tersebut hampir universal. Masalahnya adalah harga obat-obatan yang tinggi, infrastruktur perawatan kesehatan yang tidak memadai, dan kurangnya sumber pembiayaan, menghalangi penggunaan perawatan kombinasi ARV secara meluas di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Sebanyak 12 obat-obatan ARV telah diikutsertakan dalam Daftar Obat-obatan Esensial WHO (WHO Essential Medicines List). Diikutsertakannya ARV dalam Daftar Obat-obatan Esensial WHO akan mendorong pemerintah di negara-negara dengan epidemi tinggi untuk lebih memperluas pendistribusian obat-obatan esensial tersebut kepada mereka yang memerlukannya. Sementara itu, meningkatnya komitmen ekonomi dan politik di tahun-tahun terakhir ini, yang distimulir oleh orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA), masyarakat sipil dan mitra lainnya, telah membuka ruang bagi perluasan akses terhadap terapi HIV secara luar biasa.
Perawatan jenis apakah yang tersedia ketika akses ARV tidak tersedia?
Unsur-unsur perawatan lain dapat membantu mempertahankan kualitas hidup tinggi saat ARV tidak tersedia. Unsur-unsur ini meliputi nutrisi yang memadai, konseling, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, dan menjaga kesehatan pada umumnya.
Apakah PEP itu?
Perawatan Pencegahan Pasca Pajanan terdiri dari pengobatan, tes laboratorium dan konseling. Pengobatan PEP harus dimulai dalam hitungan jam dari saat kemungkinan pajanan HIV dan harus berlanjut selama sekitar empat minggu. Pengobatan PEP belum terbukti dapat mencegah penularan HIV. Kendatipun demikian, kajian-kajian penelitian menunjukkan bahwa bila pengobatan dapat dilaksanakan lebih cepat setelah kemungkinan pajanan HIV (idealnya dalam waktu dua jam dan tak lebih dari 72 jam setelah pajanan), pengobatan tersebut mungkin bermanfaat dalam mencegah infeksi HIV.

Sumber : http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids/perawatan

Tes HIV

Apakah tes HIV?
Tes HIV merupakan pengujian untuk mengetahui apakah HIV ada dalam tubuh seseorang. Tes HIV yang umumnya digunakan adalah yang mendeteksi antibodi yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh dalam merespons HIV, karena antibodi itu lebih mudah (dan lebih murah) dideteksi dibanding pendeteksian virus itu sendiri. Antibodi diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh dalam merespons suatu infeksi.
Bagi sebagian besar orang, antibodi tersebut memerlukan waktu tiga bulan untuk berkembang. Dalam beberapa kasus yang jarang terjadi, antibodi ini perlu sampai enam bulan untuk berkembang.
Setelah kemungkinan pajanan, berapa lamakah saya harus menunggu sebelum menjalani tes HIV?
Hendaknya anda menunggu tiga bulan setelah pajanan sebelum dites HIV. Walaupun tes antibodi HIV sangat sensitif, ada “periode jendela” selama tiga sampai 12 minggu, yang merupakan periode antara terinfeksi HIV dengan kemunculan antibodi yang dapat dideteksi. Dalam hal tes anti HIV paling sensitif yang saat ini direkomendasikan, ?periode jendela?-nya adalah sekitar tiga minggu. Periode ini bisa saja lebih lama bila tes yang kurang sensitif yang digunakan.
Selama “periode jendela”, orang yang terinfeksi HIV tidak memiliki antibodi yang dapat dideteksi oleh tes HIV dalam darahnya. Kendatipun demikian, seseorang mungkin sudah memiliki HIV dalam kadar tinggi dalam cairan tubuhnya seperti darah, cairan semen, cairan vagina, dan ASI. HIV dapat ditularkan ke orang lain selama “periode jendela” ini, walau tes HIV mungkin saja tidak menunjukkan bahwa anda tidak terinfeksi HIV.
Mengapa saya harus menjalani tes HIV?
Ada dua keuntungan penting bila anda mengetahui status HIV. Pertama, bila anda terinfeksi HIV, anda dapat mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu sebelum gejala muncul, yang secara potensial dapat memperpanjang hidup anda selama beberapa tahun. Kedua, bila anda tahu bahwa anda terinfeksi, anda dapat mengambil segala kewaspadaan yang dipandang perlu untuk mencegah penyebaran HIV kepada orang lain.
Di mana saya dapat menjalani tes/ pemeriksaan?
Banyak tempat di mana anda dapat dites HIV: di kantor praktek dokter swasta, departemen kesehatan setempat, rumah sakit, klinik keluarga berencana, dan tempat-tempat yang secara khusus dibangun untuk pengetesan HIV. Cobalah untuk mencari tahu tentang tes di tempat dimana konseling HIV/AIDS diberikan.
Apakah hasil tes saya bersifat rahasia?
Semua orang yang melakukan tes HIV harus memberikan izin sebelum dites. Hasil tes harus mutlak dijaga kerahasiaannya.
Ada berbagai jenis tes yang tersedia:
  • Tes HIV rahasia
Para ahli kesehatan yang menangani tes HIV menyimpan hasil tes dalam data medis secara rahasia. Hasil tidak dapat dibagi dengan orang lain tanpa izin tertulis dari orang yang dites.
  • Tes HIV Anonim
nama orang yang dites tidak digunakan dalam kaitannya dengan tes tersebut. Sebagai gantinya, sebuah nomor kode diterakan dalam tes, yang memungkinkan individu yang dites menerima hasil tes. Tidak ada dokumen tersimpan yang dapat mengaitkan orang dengan tesnya.
Kerahasiaan bersama (shared confidentiality) dianjurkan, dalam artian kerahasiaan tersebut juga dipegang oleh orang lain yang mungkin meliputi anggota keluarga, orang yang dicintai, para pengasuh, dan teman-teman yang layak dipercaya. Namun perlu hati-hati dalam membuka hasil tes HIV karena dapat menimbulkan diskriminasi dalam perawatan kesehatan, serta lingkungan profesi dan sosial. Oleh karena itu keputusan atas kerahasiaan bersama harus sepenuhnya atas kehendak orang yang akan dites. Walaupun hasil tes HIV sebaiknya tetap dijaga kerahasiaannya, para ahli seperti konselor, pekerja sosial, dan pekerja kesehatan perlu juga untuk mengetahui status HIV-positif seseorang dalam upaya memberikan perawatan yang sesuai.
Apa yang harus saya lakukan ketika saya terjangkit HIV?
Berkat perkembangan pengobatan baru, kini terdapat lebih banyak orang yang hidup dengan HIV (ODHA) dapat menjalani hidup yang lebih sehat dan lebih lama. Sangatlah penting bagi anda untuk memiliki dokter yang tahu bagaimana cara perawatan HIV. Konselor atau perawat terlatih dapat memberikan konseling dan merekomendasikan dokter yang tepat.
Selain itu, anda dapat melakukan hal-hal berikut agar tetap sehat:
  • Ikuti petunjuk dokter anda. Atur dan tepai janji dengan dokter. Bila dokter anda memberi resep, minumlah sesuai dengan yang tertera dalam resepnya.
  • Lakukan imunisasi (suntikan) untuk mencegah infeksi seperti pneumonia dan flu (setelah berkonsultasi dengan dokter anda).
  • Bila anda merokok atau anda menggunakan obat-obatan yang tidak diresepkan oleh dokter anda, segera hentikan.
  • Makan makanan yang sehat.
  • Berolahragalah secara teratur agar tetap sehat dan kuat.
  • Tidur dan beristirahatlah dengan cukup.
Apa artinya bila tes HIV saya hasilnya negatif?
Hasil tes yang negatif berarti bahwa di dalam darah anda, tidak terdapat antibodi HIV saat Anda melakukan tes. Bila anda negatif, pastikan bahwa anda tetap seperti itu: pelajari berbagai fakta mengenai penularan HIV dan hindarkan diri agar tidak terjerumus dalam perilaku yang tidak aman.
Kendatipun demikian, masih terdapat kemungkinan terinfeksi, karena sistem kekebalan tubuh memerlukan waktu sampai tiga bulan untuk memproduksi antibodi dalam jumlah yang cukup untuk mengindikasikan infeksi dalam tes darah anda. Sangat disarankan untuk melakukan tes ulang beberapa waktu setelah tes pertama itu, dan seraya menunggunya, anda bersifat waspada. Selama “periode jendela” sangat besar kemungkinan seseorang untuk menularkan, dan karenanya, anda hendaknya melakukan berbagai upaya untuk mencegah kemungkinan terjadinya penularan.

Sumber : http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids/tes-hiv

Info HIV & AIDS

Apakah HIV?
HIV merupakan singkatan dari ’human immunodeficiency virus’. HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages– komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.
Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit- penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang parah dikenal sebagai “infeksi oportunistik” karena infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan sistem kekebalan tubuh yang melemah.
Apakah AIDS?
AIDS adalah singkatan dari ‘acquired immunodeficiency syndrome’ dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditahbiskan sebagai penyebab AIDS. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS.
Apakah gejala-gejala HIV?
Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak menyadarinya karena tidak ada gejala yang tampak segera setelah terjadi infeksi awal. Beberapa orang mengalami gangguan kelenjar yang menimbulkan efek seperti deman (disertai panas tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi, dan pembengkakan pada limpa), yang dapat terjadi pada saat seroconversion. Seroconversion adalah pembentukan antibodi akibat HIV yang biasanya terjadi antara enam minggu dan tiga bulan setelah terjadinya infeksi.
Kendatipun infeksi HIV tidak disertai gejala awal, seseorang yang terinfeksi HIV sangat mudah menularkan virus tersebut kepada orang lain. Satu-satunya cara untuk menentukan apakah HIV ada di dalam tubuh seseorang adalah melalui tes HIV.
Infeksi HIV menyebabkan penurunan dan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Hal ini menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi penyakit dan dapat menyebabkan berkembangnya AIDS.
Kapankah seorang terkena AIDS?
Istilah AIDS dipergunakan untuk tahap- tahap infeksi HIV yang paling lanjut.
Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu, yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai berikut:
  • Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak dikategorikan sebagai AIDS.
  • Tahap II (meliputi manifestasi mucocutaneous minor dan infeksi-infeksi saluran pernafasan bagian atas yang tak sembuh- sembuh)
  • Tahap III (meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya yang berlangsung lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, dan TBC paru-paru), atau
  • Tahap IV (meliputi Toksoplasmosis pada otak, Kandidiasis pada saluran tenggorokan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea), batang saluran paru-paru (bronchi) atau paru-paru dan Sarkoma Kaposi). Penyakit HIV digunakan sebagai indikator AIDS.
Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, dapat diobati.
Seberapa cepat HIV bisa berkembang menjadi AIDS?
Lamanya dapat bervariasi dari satu individu dengan individu yang lain. Dengan gaya hidup sehat, jarak waktu antara infeksi HIV dan menjadi sakit karena AIDS dapat berkisar antara 10-15 tahun, kadang-kadang bahkan lebih lama. Terapi antiretroviral dapat memperlambat perkembangan AIDS dengan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam tubuh yang terinfeksi.

Sumber: http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids

Anggaran Penanggulangan AIDS Perlu Ditingkatkan

Berita KPAP Jabar (01/12) Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan meningkatkan anggaran untuk mencegah dan menanggulangi HIV-AIDS di Jawa Barat. “Hal ini menjadi cermin keseriusan pemerintah dalam mengatasi HIV-AIDS di Jawa Barat yang belakangan semakin mengancam” demikian diungkapkan Ahmad Heryawan,  Gubernur  Jawa Barat dalam konferensi pers Hari AIDS Sedunia 2009 di RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung (01/12).
Untuk tahun 2010, jumlah anggarannya memang belum ketahuan, namun kami siap untuk meningkatkan anggarannya. Tahun ini sekitar Rp. 2,5 miliar. Untuk tahun depan jika perlu ditingkatkan hingga Rp.5,5 miliar pun tidak masalah, ucap Gubernur Ahmad Heryawan yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jabar.
Ahmad Heryawan juga mengatakan  tingginya kasus HIV-AIDS di Jabar menuntut keseriusan semua pihak. Upaya pencegahan dan penangulangan HIV-AIDS perlu  dilakukan secara besar-besaran, terutama dalam program pencegahan. Karena,  menurutnya, mencegah itu lebih murah dibandingkan dengan menanggulangi HIV-AIDS.
Seperti diketahui, hingga September 2009, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat mencatat secara kumulatif terdapat 4.929 kasus HIV-AIDS (1.930 HIV positif dan 2.999 AIDS).  Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 66 %
kasus HIV-AIDS disebabkan penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna narkoba suntik. Sedangkan jika dilihat dari usia, kelompok usia 20-29 tahun merupakan kelompok yang paling banyak tercatat terinfeksi HIV,
hingga mencapai 2.783 kasus. Berarti, hampir sekitar 56 % kasus HIV-AIDS di Jabar terjadi di kalangan usia produktif.
Tingginya kasus kasus AIDS di kalangan usia produktif menimbulkan banyak kehawatiran diantaranya bertambahnya anak yatim piatu karena   orangtuanya sudah meninggal atau masih hidup namun sudah tidak berdaya
karena AIDS. Menyinggung hal ini, Dr. Nirmala Kesumah, MHA, Sekretaris Tim Penanggulangan AIDS RSHS mengungkapkan KPA Provinsi Jabar memiliki program mitigasi untuk anak Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA).
Melalui program mitigasi ini, orang tua yang sudah tidak mampu diberikan semacam modal usaha. Ini berasal dari Dinas Sosial.  “Yang diberikan bantuan, biasanya yang ayahnya sudah meninggal” ucap Dr. Nirmala Kesumah
menjelaskan.
Puncak peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) 2009 tingkat Jabar hari ini mengambil tema “Akses Universal dan Hak Asasi Manusia” . Sejumlah kegiatan berlangsung memperingati HAS 2009, diantaranya pemusnahan limbah jarum
suntik secara simbolik, penyematan pita merah oleh Gubernur Jabar, serta beberapa pentas seni dari komunitas yang aktif menanggulangi HIV-AIDS di Jabar.
Dalam kesempatan ini, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan juga memberikan penghargaan kepada Bupati/ Walikota dari 5 kab/kota dan sejumlah lembaga yang aktif menanggulangi HIV-AIDS di Jawa Barat. Kelima Kota/ Kabupaten
itu adalah Kabupaten Karawang, Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Banjar. Selain itu, penghargaan juga diberikan kepada Aksi Stop AIDS/ Family Health International (ASA/FHI), HIV Cooperation Program for Indonesia (HCPI), LSM Rumah Cemara, LSM Bahtera, dan Lapas Banceuy.

Sumber : http://www.eurekaindonesia.org/anggaran-penanggulangan-aids-perlu-ditingkatkan/

Program Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS)

Latar Belakang

  • IBBS 2007: Prevalensi gonore dan klamidia di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia
  • Penggunaan kondom inkonsisten
  • Resistensi obat gonore
  • Kepatuhan menghabiskan obat klamidia rendah
  • IMS meningkatkan risiko terinfeksi HIV
  • Periodic Presumptive Treatment (PPT) melengkapi intervensi pengendalian IMS yang sudah ada.
4 Elemen Kunci PMTS Komprehensif
  1. Komunikasi Perubahan Perilaku
  2. Penguatan pemangku kepentingan setempat (kepemimpinan, kebijakan lokal, Perda, keterlibatan pemilik wisma, mucikari, PPS, dll)
  3. Pengelolaan  kondom dan pelicin  (pemasokandan distribusi)
  4. Skrining dan layanan IMS & PPT.
Monitoring dan evaluasi ketat dari 4 elemen diatas.
Pemain Utama
  1. Kepemimpinan tingkat lokal
  2. Distributor kondom
  3. Klinik IMS
  4. Populasi berisiko tinggi
  5. LSM
Perangkat (Petunjuk Teknis)

  1. Komponen I (Komunikasi Perubahan Perilaku)
  2. Komponen II (Penguatan Pemangku Kepentingan)
  3. Komponen III (Manajemen Rantai Pasokan Kondom dan Pelicin)
  4. Komponen IV (Skrining dan Pengobatan IMS dan PPT)
Komponen I
Dalam konteks program PMTS, perubahan perilaku yg diharapkan adalah:
  1. Perilaku seksual yang tidak berisiko tertular IMS termasuk HIV
  2. Perilaku selalu mencari layanan kesehatan yang benar.
Kelompok Sasaran Kunci
  1. Primer/Prioritas I: PPS (Perempuan Pekerja Seks)
  2. Sekunder/Prioritas II: Pelanggan (Laki-laki, Laki-laki Pekerja Seks, GWL)
Ruang lingkup:
  1. Pemberian Informasi Kesehatan Seksual
  2. Diskusi Interaktif Kelompok
  3. Konseling
  4. Pengembangan Peer Educator (partisipasinya dalam kegiatan pencegahan dan pengobatan IMS termasuk PPT)
  5. Pembentukan / pengembangan Pokja Lokasi yang melibatkan partisipasi komponen-komponen yang  terlibat di lokasi PPS (Satuan Polisi Pamong Praja, RT, RW, Mucikari)
  6. Pengembangan Sistem Rujukan (Pengobatan IMS, VCT)
  7. Meningkatkan dan mengoptimalkan partisipasi PPS (Pemberdayaan PPS) dalam pencegahan dan pengobatan IMS
  8. Kegiatan advokasi
Komponen II
Tujuan: menciptakan lingkungan yg kondusif utk perubahan perilaku berisiko pd individu & kelompok dg melakukan transformasi lingkungan sosial
Tahapan penguatan pemangku kepentingan:
  1. Mengenali permasalahan di lokasi
  2. Memunculkan kesadaran kritis
  3. Membangun pemahaman bersama terhadap persoalan di lokasi
  4. Membangun Kesepakatan bersama
  5. Melakukan aksi
  6. Refleksi, evaluasi, dan aksi.
Komponen III
Tujuan: menjamin agar kondom dan pelicin selalu tersedia dan terjangkau dalam jumlah cukup di lokasi.
Ruang lingkup:
  1. Persiapandan penggalian kebutuhan
  2. Manajemen pengadaan dan pemasokan
  3. Manajemen penyimpanan
  4. Manajemen pendistribusian
  5. Mekanisme promosi ke pelanggan  PPS
Elemen Kunci Ketersediaan dan Pengelolaan Kondom:
  1. Ketersediaan: jumlah cukup, mudah diperoleh, harga terjangkau, memenuhi standar kualitas
  2. Pengelolaan: ada sistem pengelolaan kondom, ada penanggung jawab dan petugas pengelola (keterlibatan pemangku kepentingan dalam sistem), ada outlet, ada sistem monitoring untuk mengontrol.
Komponen IV
PPT (Periodic Presumptive Treatment):
  1. Untuk seluruh target populasi, tiap 3 bulan
  2. Semua populasi yang ditargetkan dianggap terinfeksi Gonore dan Klamidia
  3. Tidak melihat ada penyakit / tidak, ada keluhan / tidak
  4. Sasaran: seluruh PPS (terjadwal) & PPS baru (setiap waktu)
PPT secara drastis dapat menurunkan prevalensi kasus gonore dan klamidiasis sementara saja. PPT dilakukan bersamaan dengan skrining dan pengobatan IMS dg obat yang efektif sesuai Pedoman Nasional jika :
  1. prevalensi GO/klamidiasis masih > 20%
  2. Komponen 1,2,3 dalam PMTS telah siap.
Perhatikan:
  1. PPT terbukti dapat menurunkan IMS tetapi jika penggunaan kondom rendah, IMS akan kembali meningkat
  2. PPT TIDAK untuk selamanya
  3. Ketika IMS turun, harus tetap dipertahankan dengan Penggunaankondom
  4. Penting: cakupan yang besar/luas (Semakin banyak PS yang diobati, semakin banyak kuman yang akan dibunuh)
Keuntungan Paket Obat PPT:
  1. Belum dilaporkan ada resistensi di Indonesia
  2. Dosis tunggal, mudah diminum dengan pengawasan >> kemungkinan tidak patuh minum obat keci >> risiko resistensi lebih kecil
  3. Cepat menurunkan IMS >> durasi penyakit lebih singkat
  4. Risiko HIV berkurang >> efektif untuk IMS tidak bergejala
  5. Aman untuk Ibu Hamil dan Menyusui
Target:
  1. PPS; semua PPS di lokasi terpilih, PPT dengan obat efektif
  2. Klien di lokasi: pengobatan IMS seperti biasa
Dampak:
  1. Penurunan prevalensi: gonore dibawah 10 %, klamidia dibawah 10%
  2. Peningkatan penggunaan kondom sampai 80%
Obat dan ESO:
  1. Obat harus diberikan bersama dan diminum di depan petugas
  2. ESO Azitromycin & Cefixime: mual, muntah, pusing, sakit kepala, diare
  3. Pesan KL/PL ke PPS sehari sebelum pelaksanaan: makan dulu atau perut sudah terisi, sebagian ada ESO berbeda tiap orang, jangan bersihkan/cuci vagina.
Sumber: http://www.eurekaindonesia.org/program-pencegahan-hiv-melalui-transmisi-seksual-pmts/

Jika Penderita HIV/AIDS Ternyata Hamil

HIV/AIDS sudah tidak asing lagi. Penyakit ini sudah bermunculan di mana-mana, hampir di semua negara, termasuk Indonesia yang sampai saat ini penderitanya sudah mencapai lebih dari 130.000 orang. Untuk HIV/AIDS ini, hingga saat ini belum ditemukan obat ataupun vaksin pencegahnya. Namun, satu hal yang dapat dilakukan adalah mencegah penularannya. Salah satu cara penularan virus ini adalah secara vertikal, yaitu dari ibu penderita HIV kepada anak yang dikandungnya.
Berdasarkan data WHO, pada akhir 2002 tercatat ada 42 juta penderita HIV/AIDS di seluruh dunia. Tentu, angka yang tidak sedikit ini hanyalah yang tampak di permukaan, jumlah penderita yang tak tercatat jauh lebih besar dari itu. Untuk ibu hamil, jumlahnya sekitar 2,5% dari penderita HIV/AIDS. Ini berarti akan ada 2.250 - 3.250 bayi yang lahir dari ibu yang HIV positif. Angka ini sangat memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian pemerintah dan kita semua.
Terdapat beberapa faktor penting yang memegang peranan dalam proses penularan HIV yakni (1) faktor maternal atau faktor ibu, (2) faktor bayi yang dikandung, dan (3) cara penularannya. Virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan yang diserang adalah sel T-limfosit (CD4) dalam darah, sehingga ibu pengidap virus ini akan mudah mengalami infeksi.
Faktor paling utama yang mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah kadar virus HIV di dalam darah. Makin tinggi kadar virus dalam darah maka makin rendah jumlah CD4 dalam darah dan makin besar risiko penularan dari ibu ke anak yang dikandung. Jumlah virus yang berisiko tinggi dapat menularkannya adalah lebih dari 100.000 kopi/ ml, atau kadar CD4 kurang dari 200.
Faktor bayi yang mempengaruhi penularan HIV adalah usia kandungan saat bayi dilahirkan dan berat badan bayi saat lahir. Pada beberapa penelitian dikatakan bayi-bayi yang prematur akan lebih rentan tertular HIV dibandingkan mereka yang lahir sesuai dengan waktunya. Selain itu, bayi yang lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 100 gram) juga akan memperbesar risiko penularan dari ibu kepada anak yang dikandungnya.
Faktor lain yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak adalah cara penularannya, yang sebagian besar terjadi saat persalinan berlangsung. Cara persalinan ibu dengan HIV/AIDS yang lebih dianjurkan adalah dengan operasi atau sectio. Sebab, persalinan dengan operasi akan meminimalkan kontak kulit dan mukosa membran bayi dengan servix (leher rahim) dan vagina. Makin kecil kontak yang terjadi, makin kecil risiko tertularnya virus ini. Selain itu, proses penularannya akibat bayi menelan darah atau lendir si ibu. Menyusui juga menjadi masalah bagi bayi yang lahir dari Ibu dengan HIV positif, sebab risiko tertularnya jauh lebih besar.
Lakukan “Screening”
Pada dasarnya screening yang baiklah yang akan mampu menekan angka penularan HIV dari ibu kepada anaknya. Program yang dicanangkan UNAIDS berupa konseling dan pemeriksaan HIV secara sukarela kepada pasangan usia subur merupakan program yang harus digalakkan pemerintah.
Ada beberapa indikasi dalam melakukan screening di antaranya adalah kepada mereka bekas pengguna narkoba dengan jarum suntik, riwayat pasangan hubungan seksual lebih dari lima, punya riwayat transfusi darah, riwayat pasangan biseksual atau melakukan screening dan tes atas permintaan sendiri.
Infeksi HIV memiliki 4 stadium sampai nantinya menjadi AIDS. Stadium I, ibu dengan HIV positif tidak akan menunjukkan gejala klinis yang berarti sehingga ibu akan tampak sehat seperti orang normal dan mampu melakukan aktivitasnya seperti biasa. Pada stadium II, sudah mulai menunjukkan gejala yang ringan seperti terjadi penurunan berat badan kurang dari 10%, infeksi yang berulang pada saluran nafas dan kulit.
Stadium III, ibu dengan HIV sudah tampak lemah, gejala dan infeksi sudah mulai bermunculan dan ibu akan mengalami penurunan berat badan yang lebih berat, diare yang tidak kunjung sembuh, demam yang hilang timbul dan mulai mengalami infeksi jamur pada rongga mulut bahkan infeksi sudah menjalar sampai ke paru-paru. Stadium IV, pasien akan menjadi AIDS — aktivitas akan banyak dilakukan di tempat tidur karena kondisi dan keadaannya sudah mulai lemah, serta infeksi mulai bermunculan di mana-mana dan cenderung berat.
Beberapa Strategi
Ada beberapa strategi yang penting dalam mencegah penularan HIV/AIDS ibu ke bayi. Pertama, dengan pemberian obat antiretroviral. Obat ini bekerja langsung menghambat replikasi dan perkembangan virus HIV. Kedua, melakukan persalinan yang aman pada saat kehamilan, selama persalinan, dan setelah persalinan.
Cara persalinan yang diperkenankan pada ibu dengan HIV positif adalah dengan operasi, penularan HIV dari ibu ke anak dapat ditekan sampai 50% dibandingkan dengan persalinan normal. Setelah anak dilahirkan, ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan terutama saat menyusui si bayi. Disarankan, ibu yang melahirkan anak dengan HIV positif sebaiknya tidak menyusui karena dapat terjadi penularan HIV dari ibu ke bayi antara 10-20%, terlebih jika payudara ibu mengalami perlukaan lecet ataupun radang.
Imunisasi juga harus diperhatikan pada anak yang terlahir dari ibu dengan HIV positif. WHO dan UNICEF menganjurkan agar semua bayi dengan infeksi HIV simptomatik diberikan imunisasi dasar menurut program nasional (BCG, DPT, OPV, Campak). Pada ibu yang telah bersalin, diharapkan dalam waktu kurang dari 4 minggu harus sudah menggunakan alat kontrasepsi dan tidak diperkenankan menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim seperti IUD karena kekebalan ibu sudah menurun dan akan memperbesar risiko infeksi yang terjadi pada rahim akibat adanya benda asing di dalam tubuh.
Infeksi HIV sampai saat ini belum ditemukan obatnya sehingga disarankan bagi mereka yang menderita HIV untuk tidak melakukan hubungan badan tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Pada ibu dengan HIV/AIDS sangat rentan timbulnya masalah sosial seperti diskriminasi dan isolasi. Hal ini merupakan tanggung jawab kita bersama untuk menghentikan segala bentuk stigmatisasi dan diskriminasi kepada mereka terutama ibu-ibu dengan HIV positif.
Penulis: dr. Ryan Saktika Mulyana
Sumber:
http://www.satudunia.net/node/2830

MASYARAKAT DUNIA PERINGATI HARI HEPATITIS

Hari ini (28/7/2010) masyarakat di seluruh dunia memperingati Hari Hepatitis. Peringatan ini merupakan tindak lanjut ditetapkannya Resolusi Sidang Majelis Kesehatan Sedunia (World Health Assembly=WHA) ke-63 Mei 2010 di Geneva, Swiss. Dalam Sidang WHA ke-63 ditetapkan 21 resolusi diantaranya tentang Viral Hepatitis sekaligus ditetapkan tanggal 28 Juli sebagai World Hepatitis Day. Inti resolusi yang merupakan prakarsa Indonesia, adalah menyerukan kepada seluruh negara di dunia untuk melakukan penanganan hepatitis secara komprehensif mulai dari pencegahan sampai pengobatan, meliputi perbagai aspek termasuk surveilans dan penelitian.

Penyakit hepatitis dari berbagai tipe (A, B dan C) merupakan masalah kesehatan besar di seluruh dunia. Berdasarkan data, terdapat lebih dari 2 milyar penduduk dunia telah terinfeksi oleh virus hepatitis B dan lebih dari 360 juta penduduk dunia yang menjadi pengidap kronis virus ini. Selain itu, 130–170 juta penduduk dunia merupakan pengidap virus hepatitis C, dengan angka kematian lebih dari 350 ribu per tahun akibat komplikasi hepatitis C.

Di Indonesia, jumlah penderita Hepatitis B dan C diperkirakan mencapai 30 juta orang. Sekitar 15 juta orang dari penderita Hepatitis B dan C berpotensi menderita chronic liver diseases. Indonesia sendiri digolongkan ke dalam kelompok daerah dengan prevalensi hepatitis B dengan tingkat endemisitas menengah sampai tinggi.

Hal itu disampaikan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH pada peringatan Hari Hepatitis Sedunia pertama, di RSUP Sardjito, Yogyakarta. Hadir dalam acara ini, Perwakilan WHO, UNICEF, perwakilan dari kementerian dan institusi terkait lainnya, organisasi profesi dan kemasyarakatan (IDI, PPHI, IDAI, BKGAI, IBI, PPNI), dan produsen vaksin.

Mengutip data Riskesdas tahun 2007, Menkes menyebutkan prevalensi Nasional Hepatitis klinis sebesar 0,6% (rentang 0,2% – 1,9%). Tercatat 13 provinsi mempunyai prevalensi diatas angka nasional dan tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur.

Selain itu proporsi penyebab kematian pada golongan semua umur dari kelompok penyakit menular, penyakit hati (termasuk Hepatitis kronik) menduduki urutan ke 2.

Data Riskesdas 2007 juga menyebutkan, pada golongan umur 15 - 44 tahun,di pedesaan penyakit hati menduduki urutan pertama sebagai penyebab kematian, sedang di daerah perkotaan menduduki urutan ke 3.

Penderita Hepatitis C sebagaian besar dialami oleh kelompok umur 30-39 tahun yaitu sekitar 29,6% dan kelompok umur 20-29 tahun yaitu sekitar 27,0%. Selain itu terdeteksi pula bahwa Hepatitis C juga diderita oleh kelompok umur sangat muda (0-9 tahun) yaitu sekitar 0,2 % dan pada kelompok usia lanjut ( 70 tahun ke atas) yaitu sekitar 5,4%.

“Jumlah penderita Hepatitis C yang terdata sejak Oktober 2007 – 2009 adalah 17.999 kasus. Terdapat peningkatan kasus Hepatitis C yang dilaporkan pada tahun 2008-2009.



Diharapkan kasus Hepatitis C yang terjadi dapat dilaporkan lebih banyak lagi sehingga dapat menggambarkan besaran masalah Hepatitis C,” tambah Menkes.

Menurut Menkes, untuk menanggulangi penyakit hepatitis ini, pemerintah telah melakukan beberapa upaya, diantaranya melakukan pilot project imunisasi hepatitis B di Pulau Lombok (tahun 1986 – 1990), melakukan proses integrasi imunisasi hepatitis B kedalam program imunisasi secara bertahap (tahun 1991-1996), integrasi imunisasi hepatitis B kedalam program imunisasi rutin secara nasional (tahun 1997), meningkatkan cakupan bayi baru lahir (uniject HB) dan kini telah dilaksanakan di seluruh Indonesia (tahun 2003) dengan menyederhanakan jadual imunisasi, maka vaksin hepatitis B digabung dengan vaksin DPT, menjadi vaksin DPT/HB kombinasi (tahun 2004).

Menkes menambahkan cakupan Imunisasi HB 0 (<7 hari) bervariasi di berbagai provinsi karena sejumlah daerah terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau serta adanya anggapan para orang tua yang tidak mengizinkan anaknya untuk diimunisasi sebelum berumur 40 hari.

Pada kesempatan tersebut Menkes meminta semua pihak bahwa pemberian imunisasi hepatits B adalah untuk memutuskan rantai penularan dari ibu pengidap kepada bayinya dan memberikan perlindungan hepatitis B di masa mendatang.

Menkes menjelaskan, sejak tahun 1992 pemerintah telah melakukan penapisan darah melalui bank darah Palang Merah Indonesia untuk hepatitis B, hepatitis C dan HIV/AIDS untuk mencegah penularan melalui transfusi darah.

“Meskipun kita telah melakukan berbagai upaya, hepatitis masih merupakan masalah yang besar,” ujar Menkes.

Beberapa tantangan yang dihadapi, menurut Menkes, adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat dan petugas kesehatan, kurangnya data dan informasi, sehingga besarnya masalah tidak diketahui, serta cakupan imunisasi masih belum merata

Selain itu juga fasilitas diagnosis belum merata dan keberhasilan pengobatan masih kurang karena pasien datang terlambat, resistensi virus, dan harga obat yang relatif mahal. Sementara operasi dan transplantasi hati: masih terbatas dengan biaya tinggi

Melihat kenyataan bahwa Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia serta kurangnya kemajuan dalam pencegahan dan pengobatan di dunia, khsusnya di negara berkembang, Indonesia berinisistif diperlukannya upaya global untuk pencegahan dan pengoabatn hepatitis yang bersifat komprehensif.

Upaya itu dimulai Indonesia dengan mengusulkan kepada WHO Executive Board agar hepatitis menjadi isu dunia dengan menetapkannya sebagai Resolusi WHA tentang Viral Hepatitis”, terang Menkes.

Ditambahkan, usulan Indonesia tersebut diterima oleh WHO Executive Board untuk dibahas dalam sidang World Health Assembly (WHA) atau Majelis Kesehatan Sedunia ke 63 bulan Mei 2010.

Majelis Kesehatan Sedunia yang merupakan forum tertinggi Negara-negara anggota WHO menerima usulan Indonesia dan menetapkannya sebagai Resolusi WHA tentang Viral Hepatitis.


Inti resolusi yaitu menyerukan kepada semua Negara di dunia untuk melakukan penanganan hepatitis secara komprehensif mulai dari pencegahan sampai pengobatan meliputi berbagai aspek termasuk surveilans dan penelitian. Dalam resolusi itu juga ditetapkan tanggal 28 Juli sebagai World Hepatitis Day, jelas Menkes.

Tanggal 28 Juli adalah hari kelahiran Dr. Baruch Blumberg, penemu virus hepatitis B pada tahun 1967 dan pembuat vaksin hepatitis B pertama pada tahun 1969. Penemuannya ini, mengantarkan Baruch mendapat hadiah Nobel pada tahun 1976. Sedangkan ditetapkannya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai puncak peringatan, karena mempunyai nilai historis yaitu sebagai tempat pencanangan imunisasi hepatitis B segera setelah bayi lahir.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.idpuskom.publik@yahoo.co.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , info@depkes.go.idinfo@depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , k ontak@depkes.go.idontak@depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it .

MENKES SAKSIKAN PENANDATANGANAN GRANT AGREEMENT GLOBAL FUND

Hari ini (23/6), Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH menyaksikan penanandatanganan Grant Agreement antara Direktur Eksekutif Global Fund (GF) Prof. Michel Kazatchkine dengan Penerima Hibah Utama (Principal Recipient = PR) yaitu PR Subdit AIDS, PP2PL Kementerian Kesehatan dr. Iwan M. Muljono, MPH, PR Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dr. Nafsiah Mboy dan PR Nahdatul Ulama (NU) dr. Wan Nedra Komaruddin, Sp.A.

Grant Agreement periode 1 Juli 2010 - 30 Juni 2012 berjumlah USD 60,782,675 juta untuk program penanggulangan AIDS dengan rincian Kemkes: USD 39,160,397, KPAN: USD 18,645,288 dan NU: USD 2,976,99. Bantuan ini untuk mendukung program pengendalian HIV/AIDS di 135 kabupaten/ kota pada 33 provinsi. Kegiatan utamanya adalah dukungan pelayanan Konseling dan Testing, pengobatan ARV (Anti Retro Viral), pengobatan IMS (infeksi Menular Seksual), Phropilaxis pada ibu hamil dan dukungannya, serta pelayanan substitusi Methadone.
Penandatanganan Grant Agreement juga disaksikan Duta Besar Negara Donor GF yaitu Amerika, Australia, European Union, Perancis dan Italia.
Bantuan GF di Indonesia dimulai tahun 2003, difokuskan untuk mendukung program penanggulangan AIDS, TB dan Malaria (GF-ATM).
Total dana hibah GF ATM untuk Komponen AIDS, TB dan Malaria di Indonesia sampai saat ini sebanyak USD 414,744,869, dan yang sudah diterima sebanyak USD 207,848,675.68.
Komponen AIDS
Untuk komponen AIDS, diberikan dalam 4 Round sebanyak USD 115,041,264 dan yang diterima sampai dengan April 2010, USD 61,910,929.51, yaitu :
R1 - Prevention and Alleviation of HIV Impact in Indonesia (1 Juli 2003 - 31 Desember 2007): dana hibah yang disetujui sebanyak USD 5,714,668, realisasi sebanyak USD 5,709,870. Kegiatan utama adalah Pencegahan, dilaksanakan di 15 kab/kota pada 6 propinsi.
R4 - Indonesia HIV/AIDS Comprehensive Care (1 April 2005 - 31 Maret 2010): dana hibah sebanyak USD 43,446,781, realisasi USD 42,583,271.51. Dana digunakan untuk mendukung pelaksanaan program Dukungan, Perawatan dan Pengobatan dalam rangka 3by5 initiative, di 68 kab/kota pada 19 propinsi.
R8 - Kemkes Indonesia response to HIV : Government and civil society partnership in 12 provinces (1 Juli 2009 – 30 Juni 2011) disetujui sebanyak USD 26,719,418, diterima sebanyak USD 13,617,788. Dana tersebut untuk mendukung kegiatan di 70 kab/kota pada 12 provinsi.
Sejak 1 April 2005 - Mei 2010, bantuan dilaksanakan pada 157 RS yang melakukan pengobatan ARV, 147 klinik IMS, 38 layanan MMT (Methadone Maintenance Therapy), 60 klinik PMTCT (Prevention Mother-To-Child Transmission), dan 262 klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing).
Dari jumlah layanan tersebut, sebanyak 423.441 orang melakukan testing dan konseling lengkap, 17.617 orang yang pernah menerima pengobatan ARV, 28,380 ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) menerima dukungan dan perawatan, 61.428 IDUs (Injecting Drug Users) menerima intervensi program dan sebanyak 5.553 diantaranya mengikuti program therapi rumatan methadone, 175.301 kasus IMS yang diobati dan sebanyak 20.077 orang Pekerja Seks yang menerima pengobatan presumtif berkala, 476 orang ibu hamil yang menerima ARV phrophilaxis dan dukungan PMTCT lainnya.
Sedangkan komitmen berikutnya untuk 1 Juli 2012 - 30 Juni 2015 berdasarkan proposal yang telah kita ajukan adalah sebanyak USD 47,234,546, yang dana ini dana harus diajukan kembalii pada bulan Desember 2011, dan perlu mendapat persetujuan GF Geneva berdasarkan capaian dan penyerapan dana sebelumnya.
Komponen TB
Dana hibah GF-ATM untuk komponen TB untuk 3 (tiga) putaran yang diterima Kemkes adalah sebanyak USD 113,858,142, yaitu:
R1 : Strengthening DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) Expansion in Indonesia 1 Agustus 2003 – 31 Mei 2009, dengan jumlah dana hibah sebanyak USD 51,766,003, realisasi penggunaan sebanyak USD 49,192,909
R5 : Equitable Quality DOTS for All, dimulai 1 Januari 2007 - 31 Desember 2011, dengan dana hibah sebanyak USD 49,978,433, realisasi sampai Desember 2009 sebanyak USD 14,392,308.
R8 : Consolidating Progress and Ensuring DOTS for All. GF-ATM Komponen TB Round 8 Kemkes dimulai 1 Juli 2009 - 30 Juni 2011 untuk pendanaan Phase 1. Dana hibah yang disetujui untuk Phase 1, sebanyak USD 12,113,706, sampai dengan Desember 2009 realisasi USD 604,200. Ketiga dukungan tersebut dilakukan pada 33 provinsi dan 440 kabupaten/kota di Indonesia. Pencapaian program adalah sebanyak 87% kasus BTA pos yang berubah menjadi BTA negatif. Jumlah dan persentase kasus BTA positif yang telah sembuh dan lengkap berobat dalam periode 12 bulan dibagi dengan jumlah kasus BTA positif baru yang terdaftar dibawah DOTS pada tahun sebelumnya sebanyak 88%, Jumlah kasus yang gagal dibandingkan dengan jumlah total kasus diobati sebanyak 2%.
Komponen Malaria
Dana hibah GFATM untuk komponen Malaria meliputi 3 putaran sebanyak USD 185,845,463 yaitu :
R1 : Intensified Malaria Control Program in Five Provinces in Indonesia yang berlangsung pada tahun 2003 – 2008. Dimulai tanggal 1 Juli 2003 dan telah berakhir pada tanggal 30 Juni 2008 dengan jumlah dana hibah sebanyak USD 23,704,947 dengan realisasi USD 20,600,757
R6 : Intensified and Integrated Malaria Control Program in Sumatera and Six Provinces in Eastern Indonesia dimulai tahun 2008. Dimulai tanggal 1 Maret 2008 dan direncanakan akan berakhir pada 28 Februari 2013. Dana hibah yang disetujui sebanyak USD 52,201,785 dengan jumlah realisasi sampai dengan semester IV (Februari 2010) sebanyak USD 18,960,646,07.
R8 : Intensified Malaria Control Program in Kalimantan and Sulawesi Islands. Dimulai tanggal 1 Januari 2010 dan direncanakan akan berakhir pada 31 Desember 2014.
Dana hibah yang disetujui selama 5 tahun adalah USD 109, 938,731 dan dana yang disetujui untuk fase 1 sebanyak USD 56,787,779. Dukungan GFATM Malaria telah melakukan pengobatan ACT bagi 732.707 orang, pemeriksaan lab RDT (Rapid Diagnostic Test) sebanyak 940.267, kelambu LLIN (Long Lasting Insecticide Net) yang dibagikan sebanyak 1.412.411 lembar.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.idpuskom.publik@yahoo.co.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , info@depkes.go.idinfo@depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , kontak@depkes.go.idkontak@depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it .

PEMERINTAH BERKOMITMEN MEMPERCEPAT UPAYA PENCAPAIAN MDG’S

Pemerintah berkomitmen untuk mempercepat upaya pencapaian Millennium Development Goals (MDG’s) dengan diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan.

Hal tersebut dikatakan Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH saat melakukan rapat kerja dengan Komisi IX DPR-RI di Jakarta (Senin, 14/6/2010) yang dipimpin dr. Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi IX DPR-RI.

Kementerian Kesehatan telah menyusun rencana pelaksanaan Inpres tersebut yang tujuan utamanya adalah pencapaian MDG’s nomor 1,4,5,6 dan 7, yaitu upaya menurunkan prevalensi gizi buruk, menurunkan angka kematian anak (bayi dan balita), menurunkan angka kematian ibu, serta penanggulangan penyakit menular, kata Menkes.

Menurut Menkes, upaya yang dilakukan Kemenkes dalam menurunkan prevalensi kurang gizi adalah: 1) Penimbangan balita di posyandu untuk deteksi dini; 2) Pemenuhan Buffer Stock MP ASI; 3) Perawatan anak gizi buruk di rumah Sakit atau Puskesmas perawatan; 4) Surveilans gizi di Puskesmas kabupaten/kota; 5) Pemberian vitamin A pada balita; 6) Pemberian Fe pada Ibu hamil dan nifas; 7) Pemberian Garam beryodium pada masyarakat; 8) ASI ekslusif selama enam bulan.

Upaya ini menunjukkan hasil menggembirakan karena berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, terlihat keberhasilan dalam upaya penurunan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang. Prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5,4% dan gizi kurang pada balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), dan target MDG’s pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007.

Ditambahkan Menkes, penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKIBA) merupakan salah satu prioritas pembangunan kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan menjadi prioritas pada RPJMN 2010-2014. Pada tahun 2002-2003 penurunannya sudah mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2002-2003) dan tahun 2007 semakin turun menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2007).

Upaya yang dilakukan untuk menurunkan kematian bayi dan balita yaitu dengan memberikan akses pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin melalui Jamkesmas. Akses ini meliputi pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kebidanan dasar, pelayanan perbaikan gizi, revitalisasi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), pemberantasan penyakit menular, dan revitalisasi kewaspadaan pangan dan gizi.

Kemudian untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan anak, kegiatan program kesehatan difokuskan pada peningkatan penggunaan buku Kesehatan Ibu & Anak (KIA), kunjungan/perawatan neonates, penanganan komplikasi neonatal, kunjungan/perawatan bayi, pemantauan perkembangan balita, penanganan balita sakit dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), ujar Menkes.

Menkes mengatakan, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia telah mengalami penurunan dari 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 menjadi 228 per 100.000 kelahiran pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Tantangan kedepan masih besar, karena target pencapaian penurunan AKI pada tahun 2015 adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup.

Sementara itu dalam penanggulangan penyakit menular khususnya HIV/AIDS, Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai upaya seperti konseling dan testing HIV secara sukarela/voluntary counseling and testing (VCT) di 248 Rumah Sakit, 214 Puskesmas, 17 RS Jiwa, 11 BP4, 35 Klinik Rutan & lapas, 31 Klinik perusahaan dan 157 LSM, menunjuk 234 RS Rujukan ARV di 33 provinsi, melatih 189 RS di 31 provinsi, serta cakupan ART (ODHA dalam pengobatan) sampai Maret 2010 sebanyak 16.684 orang (60,3%), ujar Menkes.

Menurut Menkes, strategi inovatif yang telah dilakukan Kemenkes adalah penguatan Pokja AIDS sektor kesehatan, penguatan kapasitas manajemen dan teknis program di semua tingkatan, penguatan dan pengembangan sistem informasi dan surveilans, pengembangan kolaborasi TB-HIV, pengembangan fasilitas layanan konseling dan test HIV, diagnostik dan pengobatan, peningkatan advokasi dan kemitraan antar semua stakeholder, peningkatan promosi program, peninjauan seluruh kebijakan sektor kesehatan yang menghambat penyelenggaraan penanggulangan HIV dan AIDS, perencanaan dan dukungan dana yang memadai yang berasal dari sumber dana dalam negeri (APBN dan APBD) dan luar negeri.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.idpuskom.publik@yahoo.co.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , info@puskom.depkes.go.idinfo@puskom.depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , kontak@puskom.depkes.go.idkontak@puskom.depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it .

KESEHATAN JIWA BERPERAN PENTING DALAM PENCAPAIAN PEMBANGUNAN MILLENIUM

Menurut Menkes, penelitian yang dilakukan di beberapa tempat di Jawa Barat menunjukkan, ibu hamil yang datang memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas 36% diantaranya menunjukkan gejala mental emosional, dengan keadaan seperti itu patut diduga bahwa ibu tidak merawat kehamilanya dengan baik. Akibatnya, ibu tidak melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur dan terencana sehingga dapat meningkatkan kematian anak.

Karena itu, konseling kesehatan jiwa yang terintegrasi dalam kegiatan pelayanan kebidanan akan memberi pengetahuan dan motivasi untuk memelihara kehamilan dengan penuh tanggung jawab sehingga dengan sendirinya akan mengurangi angka kematian anak dan ibu.

Selanjutnya dikatakan, kondisi kejiwaan seorang ibu sangat mempengaruhi dalam menjalankan perannya sebagai seorang wanita yaitu melahirkan, menyusui dan mengasuh anak, beberapa kasus di masyarakat menunjukkan pentingnya pemahaman kesehatan jiwa untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan akibat lemahnya kondisi kejiwaan seorang ibu.

Menkes menegaskan, kesehatan jiwa juga sangat penting dalam memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya. Sebagai contoh penggunaan NAPZA suntik meningkat dari 22,2% pada tahun 2001 menjadi 46,9% pada tahun 2002 dan meningkat lagi menjadi 61,8 % pada tahun 2003.

Penularan HIV/AIDS meningkat melalui jarum suntik dari 0,65% pada tahun 1995 menjadi berkisar 33,01% pada tahun 2004.

Kementerian Kesehatan memberikan perhatian khusus penanggulangan HIV/AIDS dan NAPZA melalui Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Direktorat Pencegahan dan Penaggulangan Penyakit Menular dan Tidak Menular dalam pemberantasan penyakit menular dan tidak menular.

Menkes menegaskan seruan memperkuat kerjasana global dan solidaritas untuk meraih MDGs sudah selayaknya secara nasional ditangkap untuk mewujudkan MDGs di Indonesia.

Kementerian Kesehatan mengarahkan pembangunan kesehatan melalui peningkatan upaya promotif dan preventif disamping peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Peningkatan kesehatan masyarakat dilakukan dengan penekanan untuk hidup sehat melalui pencegahan penyakit menular maupun tidak menular, hal itu dilakukan dengan cara memperbaiki kesehatan lingkungan, gizi, perilaku dan kewaspadaan dini, ujar Menkes.

Seminar dibuka Plt Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan RI, DR. dr. Sutoto, Mkes, diikuti sekitar 200 orang dari Kementerian Kesehatan, RS Vertikal dan Umum, dan lintas sektor seperti Dinas Kesehatan Provinsi seluruh Indonesia, RS Jiwa seluruh Indonesia, dan Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran seluruh Indonesia.

Dalam seminar menghadirkan 7 pembicara yaitu : Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Farid Moeloek, Sp.M(K), Duta MDGs dengan topik : Overview pelaksanaan dan pencapaian target pembangunan Millenium 2000-2009, dr. Ratna Rosita, MPHM, Sekretaris Jenderal, Kemkes RI dengan topik : Upaya percepatan pencapaian target pembangunan Millenium, dr. Budiharja, MPH, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Kemkes RI dengan topik : Peranan kesehatan dalam pencapaian target pembangunan Millenium, tantangan dan hambatan, Prof. Harry Minas, University of Melbourne dengan topik : Peran kesehatan jiwa dalam pencapaian target pembangunan Millenium, Linda Amalia Sari, S.IP, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan topik : Menjawab isu gender, pendekatan kesehatan jiwa, Dr. Nafsiah Ben Mboi, Komisi Penanggulangan AIDS dengan topik : Peran kesehatan jiwa dalam memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, Prof. Ascobat Gani, MPH, Dr.PH, FKM-UI dengan topik Kesehatan jiwa dan kemiskinan : Tinjauan kesehatan jiwa dari aspek ekonomi.

DR. dr. Sutoto dalam sambutannya menyatakan Sidang Komite Pembangunan (Development Committee) Bank Dunia menilai kinerja Indonesia dalam upaya pencapaian target Pembangunan Milenium (MDGs) sudah baik. Namun masih ada beberapa saran perbaikan mendesak di sejumlah hal, untuk mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang yaitu dengan mengkaji ulang langkah strategis yang telah dilakukan.

Menurut dr. Sutoto, dampak gangguan jiwa pada masyarakat sangat besar dan luas, karena kehilangan waktu produktif serta memerlukan biaya pengobatan dan perawatan. Beban akibat gangguan yang bersifat kronik dan ketidakmampuan yang diakibatkan penyakit dihitung melalui metode Global Burden of Disease dengan indikator DALY (Disability Adjusted Life Years) atau hilangnya waktu produktif. Pada tahun 2000 angka DALY 12,3% dan diproyeksikan meningkat menjadi 15% pada tahun 2020.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.idpuskom.publik@yahoo.co.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , info@puskom.depkes.go.idinfo@puskom.depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , kontak@puskom.depkes.go.idkontak@puskom.depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it .

RAKERKESNAS : TINGKATKAN SINERGI DAN KOORDINASI PUSAT DAN DAERAH

Jakarta-5 Mei 2010. Hari ini Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH membuka Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) Tahun 2010 di Jakarta. Rapat dihadiri Pejabat Struktural dan Staf Khusus Menteri Kesehatan, Direktur RS Vertikal, Pimpinan UPT Kementerian Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota, Direktur Rumah Sakit Provinsi/Kabupaten/Kota se- Indonesia, serta Pimpinan Organisasi Profesi. Sebagai Narasumber hadir diantaranya Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapennas, Kepala BKKBN, Kepala Badan POM dan Direktur BLU Kementerian Keuangan.
Menurut Menkes, Rakerkesnas ini penting sebagai upaya meningkatkan koordinasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mencapai target MDGs sesuai proporsi dan kemampuan masing-masing. Target MDGs yang berkaitan dengan kesehatan adalah Penurunan angka kematian anak, Meningkatkan kesehatan ibu, dan Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya.
Menkes dalam sambutannya menyatakan sasaran pembangunan kesehatan tahun 2010 – 2014, meliputi 8 prioritas, yaitu 1) meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat, 2) menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular; 3) menurunnya disparitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender; 4) meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan; 5) meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat; 6) terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di daerah DTPK; 7) pengendalian penyakit tidak menular di seluruh provinsi; serta 8) pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) di seluruh kabupaten/kota.
Untuk mencapai kedelapan sasaran strategis pembangunan kesehatan, dibutuhkan reformasi kesehatan masyarakat yang mendasar guna mencapai tujuan tersebut. Berkaitan dengan hal itu, Kementerian Kesehatan telah menetapkan tim penyusun roadmap yang terdiri dari unsur Kementerian Kesehatan,lintas sektor, para pakar, akademisi dan pelaksana di lapangan. Tim telah berhasil menyusun roadmap reformasi kesehatan masyarakat meliputi 7 prioritas, yaitu:
Pertama, Revitalisasi pelayanan kesehatan dasar, hal ini perlu dilakukan dalam rangka mendukung berjalannya kegiatan pelayanan kesehatan dasar. Salah satu upaya penting dalam revitalisasi kesehatan dasar adalah bantuan operasional kesehatan (BOK) yaitu bantuan pembiayaan untuk operasional Puskesmas khususnya untuk mendukung upaya promotif dan preventif. Selama ini, komponen biaya operasional Puskesmas belum optimal dianggarkan oleh pemerintah daerah.
Kedua, di bidang sumber daya manusia, khususnya dalam upaya meningkatkan keberadaan (distribusi) dan menjamin mutu tenaga kesehatan. Distribusi tenaga kesehatan di daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan perlu mendapat perhatian khusus. Oleh karena itu perlu disusun skenario jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang dalam perencanaan dan pengembangan sumberdaya manusia kesehatan.
Ketiga, penggalakan pemanfaatan obat generik untuk meringankan biaya pelayanan kesehatan karena sebagian besar biaya pelayanan ditentukan untuk pembelian obat. Dilain pihak perlu mempersiapkan diri agar mampu memproduksi bahan baku obat sendiri, mengingat pada saat ini 80% dari bahan baku obat berasal dari luar negeri. Juga memperkuat penggunaan jamu agar dapat dijadikan sebagai obat juga ditingkatkan dengan saintifikasi jamu.
Keempat, jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dengan berbagai cara penjaminan saat ini baru mencapai 50,8% penduduk yang mempunyai jaminan kesehatan, dengan kontribusi terbesar dari peserta Jamkesmas. Perluasan cakupan kepesertaan terus diupayakan secara bertahap pada tahun 2014 sebagai implementasi UU SJSN mencapai 245,3 juta penduduk (100% penduduk).
Kelima, mengatasi permasalahan pelayanan kesehatan di Daerah yang Bermasalah Kesehatan (PDBK) dengan pendekatan spesifik yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. Hasil Riskesdas tahun 2007 menghasilkan instrumen pengukuran Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Dengan IPKM, dapat diketahui dimana daerah-daerah bermasalah tersebut dapat dipetakan berdasarkan peringkat kabupaten/kota.
Keenam, Reformasi Birokrasi dalam arti yang lebih luas, memberikan makna muatan antisipatif untuk menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan administratif. Saat ini proses pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan seluruhnya sudah melalui proses e-procurement. Reformasi birokrasi juga harus memberikan ruang untuk terjadinya transparansi data base dan prosedur-prosedur pelayanan adminstrasi di Kementerian Kesehatan.
Ketujuh, World Class Health Care. Sudah saatnya masyarakat Indonesia mendapatkan pelayanan kesehatan dengan taraf Internasional, sehingga tidak perlu lagi warga negara Indonesia perlu berobat keluar negeri. Selain memenuhi tuntutan masyarakat, upaya ini juga akan mengurangi mengalirnya devisa Indonesia yang cukup besar ke luar negeri.
Rakerkesnas Tahun 2010 mengangkat tema Melalui Good Governance Kita Wujudkan Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. Beberapa topik yang dibahas diantaranya Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, Kebijakan Pengawasan dan Langkah-langkah Mencapai Good Governance di Lingkungan Kemkes, dan Strategi Inovatif dalam Akselerasi Pencapaian Target MDGs dan Neglected Desease.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail  : puskom.publik@yahoo.co.idpuskom.publik@yahoo.co.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , info@puskom.depkes.go.idinfo@puskom.depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , kontak@puskom.depkes.go.idkontak@puskom.depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it .